Saturday, September 26, 2009

Sampai Kapan Kita Terus Kebanjiran ?


Oleh Guntur Adi Sukma



Pengantar :
BANJIR, banjir dan banjir lagi sering melanda kota Medan serta daerah-daerah lainnya di Sumatera Utara. Saat hujan lebat mengguyur kota Medan sepanjang 2 atau 3 jam saja, beberapa kawasan akan tergenang air. Lalulintas kota Medan jadi macet karena beberapa ruas jalan di kota Medan menjadi titik rawan banjir. Upaya Pemko untuk menggali parit sepertinya belum membuahkan hasil. Proyek pembangunan kanal belum menjadi jalan keluar yang memuaskan. Minggu ini, Tim Jentera menurunkan beberapa tulisan yang berkaitan dengan permasalahan banjir dan upaya penanganannya. Mudah-mudahan bermanfaat.

BUKAN cuma setiap tahun, namun hampir setiap hujan deras melanda Kota Medan, penduduknya selalu khawatir. Banjir (bakal) datang lagi! Kekhawatiran itu juga nyaris selalu menjadi kenyataan. Terakhir ialah pada 5 September lalu, sebagian besar wilayah kota ini dilanda banjir genangan setelah hujan lebat turun selama lebih satu jam. Padahal, sisa banjir genangan yang melanda sehari sebelumnya belum lagi hilang.

Pada banjir 4-5 September itu, ratusan rumah penduduk di berbagai kelurahan terendam air. Ketinggian bervariasi, antara 30-50 centimeter. Jalan-jalan protokol, seperti Gatot Subroto, Iskandar Muda, Willem Iskandar, seputaran Lapangan Merdeka, juga tak luput dari banjir tersebut.



Sebelum banjir terakhir ini, Pemerintah Kota (Pemko) Medan memang sudah mengeruk drainase-drainase di sebagian wilayah kota. Pengerukan itu memang membantu mengurangi ketinggian dan lamanya banjir genangan ini.

Tetapi, karena di sebagian tempat sampah hasil pengerukan itu tak segera dibuang dan tetap dibiarkan di sisi drainase, akhirnya kembali masuk ke saluran air ini. Kejadian ini potensial menggagalkan keinginan mengatasi persoalan banjir di kota metropolitan berpenduduk 2,4 juta jiwa lebih ini.

Banjir yang kerap melanda Medan ini menenggelamkan banyak langkah dan program yang sudah pernah dijalankan. Salah satu di antaranya yang terbesar dan ambisius adalah Medan Metropolitan Urban Development Project (MMUDP). Di antara fokus proyek ini adalah penanganan banjir. Tapi, hingga proyek ini rampung bertahun-tahun lalu, banjir tidak jua berhenti melanda Medan.

DELAPAN FAKTOR
Apa sesungguhnya penyebab banjir di Kota Medan sehingga terus-menerus terjadi setiap kali hujan deras turun? Tak mampukah kita, masyarakat dan khususnya Pemko Medan, mengatasinya?

Gindo Maraganti Hasibuan, doktor lulusan Universitas Sumatera Utara (USU) dalam disertasinya “Model Koordinasi Kelembagaan Pengelolaan Banjir Perkotaan Terpadu” (2007), menjelaskan, ada delapan penyebab banjir yang melanda ibukota Sumatera Utara (Sumut) ini.

Dilihat dari faktor teknis, banjir yang sering melanda Medan selama lima tahun terakhir adalah akibat makin luasnya lahan kritis di daerah hulu dan tengah Sungai Deli, Babura, dan Belawan. Mengutip data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BKMG, dulu BMG) Wilayah I Medan, pada banjir akhir

Desember 2001 dan awal Januari 2002, volume banjir mencapai 48-50 juta kubik (m3). Air ini melalui Sungai Deli dan Babura. Jumlah ini setara dengan periode ulangan banjir 15-25 tahun sekali. Meluasnya lahan kritis ini karena kabupaten/kota terkait tidak konsekuen melaksanakan konsep tata ruangnya.
Faktor teknis berikutnya antara lain ialah berkurangnya daerah resapan karena konversi lahan; mengecilnya penampang basah anak-anak Sungai Deli dan

Babura akibat pendangkalan dan banyaknya pemukiman di bantaran sungai; banyak subdrain dan drainase tersier yang tersumbat untuk aliran air ke drainase primer dan sekunder akibat banyaknya sampah dan sedimentasi dan terlalu kecilnya street inlet di sepanjang jalan protokol Kota Medan; penanganan banjir yang masih parsial dan berjangka pendek, dan tidak adanya koordinasi terpadu para pihak yang bertanggung jawab dalam mengatasi persoalan ini.

Sementara faktor non teknis adalah banyaknya lingkungan pemukiman kumuh di sekitar bantaran sungai sehingga mengurangi kapasitas kemampuan sungai; terjadinya masalah pembebasan tanah yang berpotensi menimbulkan gejolak sos berupa klaim masyarakat; tingginya biaya pembebasan lahan, dan minim atau tidak adanya peran serta masyarakat untuk memelihara drainase di lingkungannya.

Dari paparan Gindo Maraganti yang kini menjabat sebagai Kepala Dinas Bina Marga Kota Medan, jelas bahwa baik pemerintah maupun masyarakat masih berperan minim dalam mencegah dan mengatasi masalah banjir ini. Padahal, peran keduanyalah sangat menentukan.

BERBAGI PERAN DAN TERPADU
Karena itu pula, sudah saatnya pemerintah benar-benar berbagai dan memperkuat peran masing-masing dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah banjir ini agar tidak terulang setiap hujan deras melanda kota ini. Seperti dikatakan Gindo Maraganti, penanganan banjir harus dilakukan secara menyeluruh, terpadu dan berjangka panjang.

Pengelolaan terpadu banjir perkotaan, tegasnya, ialah terintegrasinya subsistem atau wilayah yang mempengaruhi tercapainya pengelolaan banjir perkotaan dalam kerangka Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dipengaruhi oleh koordinasi yang baik dan saling berkaitan antara seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat.

Pengelolaan banjir terpadu juga merupakan bagian dari perencanaan wilayah dengan melihat banjir berdasarkan batas hidrologis, dan dalam melaksanakan visi dan misi serta rencana kerja dilihat berdasarkan batas administrasi dan menyelaraskan antara batas hidrologis dan administrasi.

Karena melibatkan banyak lembaga dan lintas kabupaten, disarankannya untuk membentuk wadah koordinasi tunggal. Dia menyebutkan sebagai Dewan Sumber Daya Air (SDA) Tingkat Wilayah Sungai. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut yang harus membentuknya. Dewan ini menjadi jembatan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

PERDA PENGELOLAAN AIR
Langkah lain yang tak kalah bijaksana ialah dengan menerbitkan peraturan daerah (Perda) tentang pengelolaan air di perkotaan dan pemukiman perkotaan. Setidaknya, hal ini bisa dirujukkan kepada hasil penelitian guru besar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian USU, Abdul Rauf.

Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar yang berjudul “Optimalisasi Pengelolaan Lahan Pertanian Hubungannya dengan Upaya Mitigasi Banjir” (2009), Abdul Rauf menyebutkan, tanah pertanian di daerah tropis, termasuk Indonesia memiliki kemampuan menyerap air sangat tinggi. Jumlahnya mencapai 10 ribu hingga 1 juta liter (m3) per hektar. Ini di luar sawah atau rawa yang kemampuan menyerap airnya mencapai 2 juta liter per hektar.

Hutan memang memiliki kemampuan menyerap air hujan tertinggi, disusul sawah, kebun campuran, tegalan, dan pemukiman. Karena itu, hutan di DAS Deli, Babura dan Belawan sebagaimana disampaikan Gindo Maraganti harus segera dipulihkan.

Namun, wilayah pemukiman juga berperan tak kalah penting. Menurut Abdul Rauf, beberapa tindakan yang dapat dilakukan guna meningkatkan daya jerap tanah terhadap air di kawasan pemukiman untuk menekan kemungkinan terjadinya banjir ialah dengan membuat biopori, pembuatan halaman dan badan jalan permeable (memiliki daya serap), dan pembuatan sumur resapan.

Biopori merupakan lubang-lubang (pori-pori makro) di dalam tanah yang dibuat oleh jasad biologi, seperti cacing, tikus, marmut, semut, rayap atau bekas akar pohon yang mati. Jika penduduk membuat banyak lubang biopori di pemukimannya, maka mempertinggi daya jerap tanah karena air akan lebih mudah masuk ke dalam profil tanah.

Untuk halaman dan badan jalan, sebaiknya dibangun yang mampu menyerap air. Pengerasan halaman dan jalan boleh dilakukan. Tapi, sebaiknya dengan cone block atau paving block. Karena, kedua material yang diletakkan di atas lapisan pasir dan memiliki jarak antar cone block atau paving block itu bias menjadi ruang masuknya air ke dalam tanah. Penggunaan material ini juga tidak mengurangi keindahan rumah.

Sementara sumur resapan merupakan lubang yang dibuat sedemikian rupa dengan ukuran model variatif. Tujuannya memang untuk menampung air hujan berlebih di sekitar area pemukiman atau kawasan budidaya pertanian.

Sumur resapan memiliki fungsi ganda. Pertama, meresapkan air hujan ke dalam tanah sehingga mengurangi genangan saat terjadi hujan dan menahan laju erosi pada lahan-lahan terbuka. Kedua, menjadi cadangan pada saat musim kemarau.

Menurut Abdul Rauf, dari sisi ekonomis, sumur resapan ini merupakan jalan keluar termurah dalam manajemen air. “Kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya telah menerapkan model ini dan diatur dalam perda, bahkan sumur resapan menjadi syarat utama untuk memperoleh Izin Mendirikan Bangunan (IMB),” ungkapnya.

Di tengah makin tingginya konversi lahan di Kota Medan, termasuk sebagian di antaranya rawa-rawa dan sawah yang masih tersisa yang memiliki fungsi menyerap air cukup tinggi, kebijakan yang ditempuh Jakarta dan Surabaya ini boleh dicontoh Pemko Medan.

Kepada penduduk dan industri yang membangun rumah dengan membuat biopori, halaman dan jalan permeable atau sumur resapan, bisa saja Pemko Medan memberikan insentif berupa pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau biaya IMB. Tentu saja rangsangan ini dituangkan dalam perda.

Sebab, pada akhirnya, kebijakan yang memang berpihak kepada rakyat akan membantu meningkatkan kinerja sekaligus kualitas pelayanan pemerintah kepada rakyatnya. Dalam hal ini, kebijakan seperti ini akan mengurangi berbagai kerugian ekonomi maupun biaya pembangunan atau pemeliharaan saluran-saluran air akibat banjir yang kerap datang yang harus dikeluarkan pemerintah

No comments:

Post a Comment